Banyak
sekali teman-teman budi yang sudah memiliki pesantren sendiri. Sedangkan budi
belum juga bisa maju. Budi pun merasa malu sendiri. Malu sesama santri lainnya
yang sudah ketinggalan jauh.
Karena
sudah tak kuat menahan rasa malunya, suatu hari budi mengunjungi kiai pesantren
di rumahnya, dengan maksud ingin pulang ke kampungnya. Kiai tidak terburu-buru
mengizinkan Budi untuk pulang.
“Aku
sudah tak kuat lagi ustad, aku malu sesama santri yang lain. Aku ingin pulang
saja ustad.” Kata Budi.
“Kenapa
harus demikian, jangan cepat menyerah, setiap orang berbed-beda kemampuannya
dalam belajar.” Ujar kiai.
“Pokoknya
aku ingin pulang saja ustad.” Kata budi.
Karena
tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Kiai itu akhirnya mengizinkan Budi untuk
pulang ke kampungnya.
Keesokan
harinya, pagi-pagi Budi sudah meninggalkan pesantren. Kira-kira butuh seharian untuk sampai ke kampungnya. Selain itu harus
melewati hutan, dan menyeberangi sungai. Ditengah hari, perjalanan tinggal
setengah lagi. Karena merasa lelah, di perjalanan, Budi bersitirahat di bawah
pohon. Disekeliling pohon terasa dingin sekali. Budi akhirnya tertidur. Tapi ia
mendengar suara tetesan air yang keras di telinganya. Tapi karena merasa sangat
lelah ia tetap tertidur.
Budi
bangun dari tidur dan ia merasa lapar. ia bangun dari posisi tidurnya kemudian
ia melihat matahari sebentar lagi bergeser ke arah barat. Budi pun segera solat
Dzuhur, diatas batu yang besar.Disaat Budi solat, ia mendengar tetesan air yang
sangat keras. Tetesan yang sebelumnya terdengar kecil sekarang terdengar lebih
jelas.
Setelah
solat, budi penasaran mencari asal suara tetesan air itu. Ternyata tetesan air
itu berasal dari akar-akar pohon yang terselip diantara bebatuan yang besar.
Tetesan air itu menetes diatas batu yang besar pula. Batu yang tertetesi air
itu sampai berlubang. Batu yang begitu keras juga, bisa berlubang hanya dengan
air yang menetes. Pastinya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melubangi
batu itu dengan tetesan air.
“Betul
juga, kalau dibarengi dengan sabar, air yang cuma setetes-tetes itu bisa
melubangi batu yang segitu kerasnya. Kenapa kalau aku...”
“Masak
aku seorang manusia, bisa kalah sama air.”
Budi
akhirnya tersadar terhadap sikapnya sendiri. Hanya belajar ngaji saja ia tak
kunjung bisa, cepat menyerah. Sampai-sampai ingin pulang ke kampungnya, bukannya
malah belajar lebih giat. Pada hari itu juga, Budi tidak jadi pergi ke
kampungnya, ia kembali ke pesantren. Didalam hati Budi, dia akan belajar
sungguh-sungguh. Budi ingin menjadi seperti air. Karena semangatnya timbul
kembali, perjalanan menuju pesantren kembali, sedikit berlari. Budi sampai di
pesantren waktu maghrib. Dia segera menghilangkan rasa malunya. Dan berjanji
lebih giat belajar.
Hanya
setahun kemudian, dari yang awalnya dia bodoh, karena niat, Budi akhirnya
mendapat ilmu, malahan sampai mempunyai pesantren yang besar dengan ustad yang
terkenal yang memiliki banyak ilmunya.
Seperti
cerita diatas, bahwa manusia tidak ada yang bodoh atau yang pinter. Yang ada
hanya yang tekun dan malas belajar. Ilmu yang didapatkan, diibaratkan seperti
tetesan air. Tetesan air tidak bisa mengalir sekaligus tapi sedikit, demi
sedikit. Ilmu pun sama tidak bisa langsung dimengerti, tapi butuh proses. Sudah sepatutnya manusia menimba ilmu dengan ikhlas dan penuh semangat untuk meraih cita-cita yang kita impikan.
0 komentar:
Posting Komentar