Minggu, 09 Februari 2020

Cerita Inspiratif "Air Menetes Perlahan Melubangi Batu"

Hasil gambar untuk cikaracak ninggang batu
Ada Orange santri yang sangat bodoh, namanya Budi. Sampai sering menjadi bahan cemooh santri-santri yang lain. Sudah bertahun-tahun di pesantren, belum pernah sampai hatam Alqur’an sekali pun juga. Jangankan hatam Alqur’an, ketika solat juga hanya bisa baca Alfatihah dan surat-surat pendeek yang lainnya. Apalagi kalau menghafal kitab atau bercerita dengan bahasa arab, Budi sangat ketinggalan. Tapi dalam hal makanan, dialah yang paling pintar.

Banyak sekali teman-teman budi yang sudah memiliki pesantren sendiri. Sedangkan budi belum juga bisa maju. Budi pun merasa malu sendiri. Malu sesama santri lainnya yang sudah ketinggalan jauh.

Karena sudah tak kuat menahan rasa malunya, suatu hari budi mengunjungi kiai pesantren di rumahnya, dengan maksud ingin pulang ke kampungnya. Kiai tidak terburu-buru mengizinkan Budi untuk pulang.

“Aku sudah tak kuat lagi ustad, aku malu sesama santri yang lain. Aku ingin pulang saja ustad.” Kata Budi.

“Kenapa harus demikian, jangan cepat menyerah, setiap orang berbed-beda kemampuannya dalam belajar.” Ujar kiai.

“Pokoknya aku ingin pulang saja ustad.” Kata budi.

Karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Kiai itu akhirnya mengizinkan Budi untuk pulang ke kampungnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi Budi sudah meninggalkan pesantren. Kira-kira butuh seharian untuk sampai ke kampungnya. Selain itu harus melewati hutan, dan menyeberangi sungai. Ditengah hari, perjalanan tinggal setengah lagi. Karena merasa lelah, di perjalanan, Budi bersitirahat di bawah pohon. Disekeliling pohon terasa dingin sekali. Budi akhirnya tertidur. Tapi ia mendengar suara tetesan air yang keras di telinganya. Tapi karena merasa sangat lelah ia tetap tertidur.

Budi bangun dari tidur dan ia merasa lapar. ia bangun dari posisi tidurnya kemudian ia melihat matahari sebentar lagi bergeser ke arah barat. Budi pun segera solat Dzuhur, diatas batu yang besar.Disaat Budi solat, ia mendengar tetesan air yang sangat keras. Tetesan yang sebelumnya terdengar kecil sekarang terdengar lebih jelas.

Setelah solat, budi penasaran mencari asal suara tetesan air itu. Ternyata tetesan air itu berasal dari akar-akar pohon yang terselip diantara bebatuan yang besar. Tetesan air itu menetes diatas batu yang besar pula. Batu yang tertetesi air itu sampai berlubang. Batu yang begitu keras juga, bisa berlubang hanya dengan air yang menetes. Pastinya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melubangi batu itu dengan tetesan air.

“Betul juga, kalau dibarengi dengan sabar, air yang cuma setetes-tetes itu bisa melubangi batu yang segitu kerasnya. Kenapa kalau aku...”

“Masak aku seorang manusia, bisa kalah sama air.”

Budi akhirnya tersadar terhadap sikapnya sendiri. Hanya belajar ngaji saja ia tak kunjung bisa, cepat menyerah. Sampai-sampai ingin pulang ke kampungnya, bukannya malah belajar lebih giat. Pada hari itu juga, Budi tidak jadi pergi ke kampungnya, ia kembali ke pesantren. Didalam hati Budi, dia akan belajar sungguh-sungguh. Budi ingin menjadi seperti air. Karena semangatnya timbul kembali, perjalanan menuju pesantren kembali, sedikit berlari. Budi sampai di pesantren waktu maghrib. Dia segera menghilangkan rasa malunya. Dan berjanji lebih giat belajar.

Hanya setahun kemudian, dari yang awalnya dia bodoh, karena niat, Budi akhirnya mendapat ilmu, malahan sampai mempunyai pesantren yang besar dengan ustad yang terkenal yang memiliki banyak ilmunya.



Seperti cerita diatas, bahwa manusia tidak ada yang bodoh atau yang pinter. Yang ada hanya yang tekun dan malas belajar. Ilmu yang didapatkan, diibaratkan seperti tetesan air. Tetesan air tidak bisa mengalir sekaligus tapi sedikit, demi sedikit. Ilmu pun sama tidak bisa langsung dimengerti, tapi butuh proses. Sudah sepatutnya manusia menimba ilmu dengan ikhlas dan penuh semangat untuk meraih cita-cita yang kita impikan.

0 komentar:

Posting Komentar