Rabu, 05 Februari 2020

Cerpen "Lautan Api"

Hasil gambar untuk lautan api
“Huff, Senin... hari menyebalkan dimulai lagi.” suatu kata yang diucapkan untuk menyambut pagi. Bergegaslah aku bangun. Seperti biasa, sarapan hari ini adalah telor dadar. Walau begitu aku suka sekali dengan telor dadar. Ibu selalu menyiapkannya karena tahu kesukaan sarapanku setiap hari. Setelah sarapan aku mandi. Lalu aku berangkat ke sekolah.

Sesampainya di sekolah aku merasa masih mengantuk karena semalam aku menonton film anime yang aku sukai. Tak kuat akan rasa mengantuk, aku rebahkan kepalaku dan tertidur sesaat. Meskipun siswa yang lain di kelas berbincang-bincang yang tak aku pedulikan. Tak lama kemudian aku tertidur pulas. Aku memimpikan sesuatu yang indah. Tiba-tiba hal yang sangat mengerikan terlintas dipikiranku. Aku baru ingat bahwa hari ini ada tugas yang belum aku selesaikan. Yaitu membuat laporan observasi. Aku mendadak seperti orang gila, yang terbangun dari posisi tidurku. Teman-teman yang berbincang-bincang, lantas teman sekelasku menertawakan melihat sikapku saat terbangun.

Pak Hendra, guru tergalak di sekolahku, memberikan tugas  itu sejak 2 hari yang lalu. Dan tugas itu harus aku kumpulkan besok. Ditambah lagi dengan tugas matematika yang sama sekali belum aku mengerti. Tapi yang terpenting adala’h tugas dari Pak Hendra, bisa-bisa aku akan dihukum hormat tiang bendera.

Beberapa kali tugas itu membuatku tidak tenang. Suasana hati pun buncah dan membuat terngiang di telingaku akan tugas itu. Saat ke kantin pun rasanya selera makanku berkurang. Ditambah lagi dengan si Abdul, kakak kelas terkenal yang suka membully. Namun ia berlagak seperti orang baik, bila diperhatikan oleh guru. Siti, teman perempuan sekelasku bercerita tentang si Abdul, yang ternyata ia adalah murid yang pandai. Ia pintar karena dia anak seorang guru yang mengajar di sekolah lain. Akan tetapi ia terpengaruh karena teman-temannya yang nakal.

Bel pulang akhirnya tiba. Sepulang sekolah aku masih memikirkan tugas dari pak Hendra. Menyetel lagu sepertinya ide yang bagus untuk mengalihkan pikiranku. Diputarkanlah  lagu kesukaanku dengan earphone. Saat sampai di gang menuju pulang, aku terkejut. Ternyata yang ada dihadapanku adalah si Abdul, dan teman-temannya, yang mencegatku.

“Oyy, sini dek, Kakak mau bilang sesuatu!” Panggil Abdul dengan sangar.

Mau bagaimana lagi aku sudah tidak bisa kabur. Lantas aku mendekatinya.

“Ceban aja mana? Serahin ke gue.” Paksa Abdul.

“udah... habis” jawabku dengan ketakutan.

“Bohong kamu! Pegangin dia!”

Abdul tidak percaya. Ia menyuruh temannya untuk memegangiku. Aku berteriak meminta pertolongan. Akan tetapi tak seorangpun yang datang menolong. Dengan sekuat tenaga aku berhasil lolos dari genggaman tangan temannya Abdul, dan kabur secepat mungkin. Mereka mengejarku. Melihat ada sebuah gudang, aku bersembunyi di gudang tersebut.  Siapa tahu aku aman disana untuk sesaat. Aku bersembunyi di dalam kotak kayu yang cukup dengan tubuhku yang mungil.

Beberapa menit kemudian, sepertinya mereka sudah pergi dan tidak mencariku lagi. Namun tiba-tiba Abdul yang semula aku kira sudah pergi, ia menemukanku. Namun temannya tidak lagi bersama Abdul. Aku menendang paha Abdul dan keluar dari kotak kayu besar itu. Aku lari dan terjatuh tersenggol sebuah pusaka. Hampir saja aku tertangkap saat jatuh tersenggol pusaka tersebut. Pusaka itu berbentuk seperti kujang. Aku gunakan pusaka itu untuk membela diri terhadap Abdul.

Tak sengaja aku menekan sesuatu di pegangan kujang. Ternyata setelah aku menekannya,  aku dan Abdul terkejut melihat keadaan sekitar. Kami di bawa ke dimensi yang berbeda. Kami berdamai untuk sementara. Karena sekarang kami sedang kebingungan akan apa yang telah terjadi, karena sekarang kami seperti berada di alun-alun sebuah desa, yang asing bagi kami berdua. Desa ini terlihat sepi dan kosong. Kalau tidak salah waktu aku masih dikejar oleh Abdul dan temannya saat itu, hari sudah menjelang senja. Namun sekarang waktu berubah menjadi sore hari. Dan anehnya, pusaka yang aku pegang tiba-tiba menghilang begitu saja.

Setelah keliling desa dan melihat keadaan sekitar, kami melihat 3 orang sedang berbincang-bincang di salah satu rumah di desa tersebut. Rumah tersebut tampak sudah tua dan rapuh. Dengan rasa penuh penasaran, kami menghampiri seseorang yang ada di teras rumah itu. Kami menanyakan sesuatu pada mereka.

“Permisi pak, kami tersesat, tolong beri tahu dimana kami berada?” Tanya Abdul kepada salah seorang disana.

“Waduh, wahai anak muda, darimana kalian datang hingga membawa kalian kemari? Bukankah kalian bersama penduduk yang lain? Lagipula yang lain sudah dievakuasi ke tempat yang aman. Disini bukanlah tempat yang aman bagi kalian.” Jelas salah seorang bapak tua yang sedang duduk di kursi.

“Memangnya ada apa? Kami juga tak tahu karena barusan kami... hmmm...”

“...Kami sedang mencari kedua orang tua kami.” Tukas aku.

“Oyy, kenapa lu jawab bohong?” Tanya Abdul sambil berbisik.

“Tenang dulu, aku masih curiga sama mereka” balas berbisikku terhadap Abdul.

“Tahun berapa sekarang ini pak?”

“Mungkin sekitar 1946.” Ujar bapak tua itu.

Selanjutnya pak tua itu juga bertanya, kenapa kami bisa terpisah dari orang tua. Padahal aku sebenarnya berbohong karena aku sedikit ragu terhadap orang-orang ini. Aku berwaspada dengan mereka karena bisa saja mereka adalah orang jahat yang bisa kapan saja berbuat yang buruk kepada kami. Namun perkiraanku salah ternyata mereka orangnya ramah dan jujur.

 “Kami adalah TRI atau Tentara Republik Indonesia. Kami bertugas mengevakuasi para penduduk kota lalu setelah semua terevakuasi kami mulai membakar kota. Nah sekarang perkenalkan yang sedang duduk itu pak Jajang, dan ini sepupu saya pak Hilman saya sendiri Soemarno, panggil saja om marno.” Jelas pak Soemarno.
“Jadi begini anak muda, tentara Inggris sebenarnya sudah memasuki perkotaan sejak beberapa bulan yang lalu. Banyak Tawanan-tawanan Belanda yang tertangkap oleh TKR, sudah mengganggu keamanan kota ini. Untuk itu Kolonel Nasution, selaku Komandan Divisi III TRI memerintahkan untuk segera mengevakuasi para penduduk dan membakar semua bangunan dikota ini, dengan maksud agar militer Sekutu tidak menempatkan Bandung sebagai markas mereka. Operasi ini disebut Bumihangus.” Lanjut pak Soemarno.

Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar