“Huff, Senin... hari menyebalkan dimulai lagi.” suatu kata yang diucapkan untuk menyambut pagi. Bergegaslah aku bangun. Seperti biasa, sarapan hari ini adalah telor dadar. Walau begitu aku suka sekali dengan telor dadar. Ibu selalu menyiapkannya karena tahu kesukaan sarapanku setiap hari. Setelah sarapan aku mandi. Lalu aku berangkat ke sekolah.
Sesampainya
di sekolah aku merasa masih mengantuk karena semalam aku menonton film anime
yang aku sukai. Tak kuat akan rasa mengantuk, aku rebahkan kepalaku dan
tertidur sesaat. Meskipun siswa yang lain di kelas berbincang-bincang yang tak
aku pedulikan. Tak lama kemudian aku tertidur pulas. Aku memimpikan sesuatu
yang indah. Tiba-tiba hal yang sangat mengerikan terlintas dipikiranku. Aku
baru ingat bahwa hari ini ada tugas yang belum aku selesaikan. Yaitu membuat
laporan observasi. Aku mendadak seperti orang gila, yang terbangun dari posisi
tidurku. Teman-teman yang berbincang-bincang, lantas teman sekelasku menertawakan
melihat sikapku saat terbangun.
Pak
Hendra, guru tergalak di sekolahku, memberikan tugas itu sejak 2 hari yang lalu. Dan tugas itu harus aku kumpulkan
besok. Ditambah lagi dengan tugas matematika yang sama sekali belum aku
mengerti. Tapi yang terpenting adala’h tugas dari Pak Hendra, bisa-bisa aku
akan dihukum hormat tiang bendera.
Beberapa
kali tugas itu membuatku tidak tenang. Suasana hati pun buncah dan membuat
terngiang di telingaku akan tugas itu. Saat ke kantin pun rasanya selera makanku
berkurang. Ditambah lagi dengan si Abdul, kakak kelas terkenal yang suka
membully. Namun ia berlagak seperti orang baik, bila diperhatikan oleh guru. Siti,
teman perempuan sekelasku bercerita tentang si Abdul, yang ternyata ia adalah
murid yang pandai. Ia pintar karena dia anak seorang guru yang mengajar di
sekolah lain. Akan tetapi ia terpengaruh karena teman-temannya yang nakal.
Bel
pulang akhirnya tiba. Sepulang sekolah aku masih memikirkan tugas dari pak
Hendra. Menyetel lagu sepertinya ide yang bagus untuk mengalihkan pikiranku.
Diputarkanlah lagu kesukaanku dengan earphone.
Saat sampai di gang menuju pulang, aku terkejut. Ternyata yang ada dihadapanku
adalah si Abdul, dan teman-temannya, yang mencegatku.
“Oyy,
sini dek, Kakak mau bilang sesuatu!” Panggil Abdul dengan sangar.
Mau
bagaimana lagi aku sudah tidak bisa kabur. Lantas aku mendekatinya.
“Ceban
aja mana? Serahin ke gue.” Paksa Abdul.
“udah...
habis” jawabku dengan ketakutan.
“Bohong
kamu! Pegangin dia!”
Abdul
tidak percaya. Ia menyuruh temannya untuk memegangiku. Aku berteriak meminta
pertolongan. Akan tetapi tak seorangpun yang datang menolong. Dengan sekuat
tenaga aku berhasil lolos dari genggaman tangan temannya Abdul, dan kabur
secepat mungkin. Mereka mengejarku. Melihat ada sebuah gudang, aku bersembunyi
di gudang tersebut. Siapa tahu aku aman
disana untuk sesaat. Aku bersembunyi di dalam kotak kayu yang cukup dengan
tubuhku yang mungil.
Beberapa
menit kemudian, sepertinya mereka sudah pergi dan tidak mencariku lagi. Namun tiba-tiba
Abdul yang semula aku kira sudah pergi, ia menemukanku. Namun temannya tidak
lagi bersama Abdul. Aku menendang paha Abdul dan keluar dari kotak kayu besar
itu. Aku lari dan terjatuh tersenggol sebuah pusaka. Hampir saja aku tertangkap
saat jatuh tersenggol pusaka tersebut. Pusaka itu berbentuk seperti kujang. Aku
gunakan pusaka itu untuk membela diri terhadap Abdul.
Tak
sengaja aku menekan sesuatu di pegangan kujang. Ternyata setelah aku
menekannya, aku dan Abdul terkejut
melihat keadaan sekitar. Kami di bawa ke dimensi yang berbeda. Kami berdamai untuk
sementara. Karena sekarang kami sedang kebingungan akan apa yang telah terjadi,
karena sekarang kami seperti berada di alun-alun sebuah desa, yang asing bagi
kami berdua. Desa ini terlihat sepi dan kosong. Kalau tidak salah waktu aku
masih dikejar oleh Abdul dan temannya saat itu, hari sudah menjelang senja.
Namun sekarang waktu berubah menjadi sore hari. Dan anehnya, pusaka yang aku
pegang tiba-tiba menghilang begitu saja.
Setelah
keliling desa dan melihat keadaan sekitar, kami melihat 3 orang sedang
berbincang-bincang di salah satu rumah di desa tersebut. Rumah tersebut tampak
sudah tua dan rapuh. Dengan rasa penuh penasaran, kami menghampiri seseorang yang
ada di teras rumah itu. Kami menanyakan sesuatu pada mereka.
“Permisi
pak, kami tersesat, tolong beri tahu dimana kami berada?” Tanya Abdul kepada
salah seorang disana.
“Waduh,
wahai anak muda, darimana kalian datang hingga membawa kalian kemari? Bukankah
kalian bersama penduduk yang lain? Lagipula yang lain sudah dievakuasi ke
tempat yang aman. Disini bukanlah tempat yang aman bagi kalian.” Jelas salah
seorang bapak tua yang sedang duduk di kursi.
“Memangnya
ada apa? Kami juga tak tahu karena barusan kami... hmmm...”
“...Kami
sedang mencari kedua orang tua kami.” Tukas aku.
“Oyy,
kenapa lu jawab bohong?” Tanya Abdul sambil berbisik.
“Tenang
dulu, aku masih curiga sama mereka” balas berbisikku terhadap Abdul.
“Tahun
berapa sekarang ini pak?”
“Mungkin
sekitar 1946.” Ujar bapak tua itu.
Selanjutnya
pak tua itu juga bertanya, kenapa kami bisa terpisah dari orang tua. Padahal
aku sebenarnya berbohong karena aku sedikit ragu terhadap orang-orang ini. Aku berwaspada
dengan mereka karena bisa saja mereka adalah orang jahat yang bisa kapan saja
berbuat yang buruk kepada kami. Namun perkiraanku salah ternyata mereka
orangnya ramah dan jujur.
“Kami adalah TRI atau Tentara Republik
Indonesia. Kami bertugas mengevakuasi para penduduk kota lalu setelah semua
terevakuasi kami mulai membakar kota. Nah sekarang perkenalkan yang sedang
duduk itu pak Jajang, dan ini sepupu saya pak Hilman saya sendiri Soemarno,
panggil saja om marno.” Jelas pak Soemarno.
“Jadi
begini anak muda, tentara Inggris sebenarnya sudah memasuki perkotaan sejak
beberapa bulan yang lalu. Banyak Tawanan-tawanan Belanda yang tertangkap oleh
TKR, sudah mengganggu keamanan kota ini. Untuk itu Kolonel Nasution, selaku Komandan
Divisi III TRI memerintahkan untuk segera mengevakuasi para penduduk dan
membakar semua bangunan dikota ini, dengan maksud agar militer Sekutu tidak
menempatkan Bandung sebagai markas mereka. Operasi ini disebut Bumihangus.” Lanjut
pak Soemarno.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar