Jumat, 14 Februari 2020

Lautan Api - Part 2


Aku tidak percaya hal ini seolah-olah benar nyata adanya. Setelah mengetahui tahun dan tempat ini dari mereka, dimensi ini adalah pada waktu Indonesia sedang perang mempertahankan kemerdekaannya. Kalau dikira-kira peristiwa ini persis seperti Bandung Lautan Api. Hal yang membuatku tercengang adalah pak Soemarno ini, wajahnya mirip sekali dengan guruku, pak Hendra. Sampai-sampai aku mengira pak Hendra juga ikut masuk kedalam dimensi ini.

“Kalian saat ini berada di sebelah Selatan Bandung. Pergilah ke utara untuk mengungsi.”  Ujar pak Hilman.

 “Kami ikut bapak saja. Kami tak rela meninggalkan bapak berjuang sendirian.” Jawab Abdul.

“Dih gimana sih, kan biar kita selamat kita pergi aja. Ayo donk, kita juga masih terlalu muda buat ngelakuin hal ini.” Tanggapku terhadap Abdul.

“Kamu yang gimana sih. Udah gede masih jadi anak mami yang gak bisa apa-apa. Klo ga ikut aku aja sendiri.” Tolak Abdul.

“I...Iya deh”

Mendengar Abdul menanggapi perlakuanku seperti pengecut, rasanya Abdul berubah. Semula ia anak yang nakal. Dalam situasi seperti ini ia bersikap seperti pahlawan. Sedangkan aku hanya orang yang hanya bisa lari dari permasalahan.

“Kalian ini berkepala batu, tapi walau begitu, kalian boleh ikut asalkan ikuti perintah kami bila kalian tidak mau mati.” Ujar pak Jajang.

“Baiklah!” Jawab aku dan Abdul.

“Oke, sekarang bawakan bahan bakar disana. Lalu kita berangkat.” Suruh pak Hilman.
Lalu kami berangkat menuju ke tengah kota. Hanya beberapa jam kita sudah tiba. Tak terasa waktu sudah malam. Disana, kami juga melihat orang-orang sedang membakar bangunan seperti yang diceritakan oleh pak Soemarno. Aku dan abdul bekerja sama  membantu para penduduk untuk dievakuasi meninggalkan kota, sedangkan pak Soemarno, pak Jajang, dan pak Hilman serta orang-orang yang besangkutan membakar bangunan kota.

“Semua sudah kami evakuasi. Bagaimana om Marno?”

“Kalian siramlah bahan bakar yang tadi kalian bawa, lalu lemparkan saja korek ini” Suruh pak Soemarno.

“Siap” Jawab aku dan Abdul.

Semua bangunan sudah dibakar dan para penduduk sudah terevakuasi. Akan tetapi tiba-tiba ada banyak sekali pasukan sekutu datang. Mereka menyerang orang-orang yang hendak pergi minggalkan kota. Tak hanya orang-orang itu, mereka juga menyerang kami dengan senapan laras panjang.

“Sembunyiii!” Teriak salah satu orang disana.

Suasana menjadi genting. Kami berlari mencari perlindungan. Sulit sekali untuk bersembunyi karena seluruh bangunan ini telah penuh dengan bara api yang sangat panas. Akan tetapi aku dan Abdul bersembunyi dibalik pagar-pagar. Namun sayang sekali pak Jajang tak sempat mencari perlindungan dan tertembak oleh salah satu dari pasukan sekutu. Aku berusaha untuk menolong pak Jajang tapi, sepertinya mustahil untuk menolongnya.

“Kalian semua pergilah! Biarkanlah kami berjuang sekuat tenaga. Karena dari awal, misi ini sama sekali bukan kewajiban kalian berdua. Kalian juga terlalu muda untuk mati.” Teriak pak Soemarno

“Tapi kami tak rela meninggalkan om berjuang sendirian.”
“Turuti apa yang om katakan! Pakailah pusaka kujang ini sebagai senjata kalian.” Paksa pak Soemarno.

“Cepatlah! Mereka sedang mengisi senapan mereka. Ini adalah kesempatan kalian untuk kabur!” Kata pak Hilman

Dengan berat hati, Aku dan Abdul pergi meninggalkan pak Soemarno dan pak Hilman, saat tentara sekutu sedang mengisi amunisi senjata mereka. Karena tak tahu arah mata angin kami malah kabur ke selatan, yang pastinya selatan bukanlah arah untuk mengungsi. Sedikit demi sedikit kami mulai berjalan menjauhi tengah kota. Dari kejauhan kami melihat kota ini seperti lautan api. Aku masih kasihan pada nasib pak Soemarno dan yang lainnya. Walau begitu aku akan selalu mengenang jasanya sebagai pahlawan bangsa.

Selesai melihat kota yang terbakar dari kejauhan, kami melanjutkan perjalanan. Tapi ternyata saat diperjalanan menuju ke selatan, kami bertemu lagi dengan pasukan sekutu. Aku tak mengira pasukan sekutu sudah pergi sejauh ini. Para pasukan tidak menembak kami. Mungkin mereka tak tega langsung membunuh kami yang masih anak muda. Akan tetapi mereka tetap mengarahkan senapannya ke arah kami.

Kamipun terpojok di dekat tepi salah satu sungai. Pasukan sekutu terus berbicara seperti kita disuruh untuk berlutut di dekat tepi sungai itu. Tapi aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Melawan sepertinya bukanlah jalan yang bagus. Muncullah suatu ide gila yang terpikirkan olehku.

“Oi, Terus gimana nih kita udah kepojok gini” Tanya abdul dengan suara kecil.

“Kita Terjun! Ke sungai!” Ucapku

“Lu udah gila?”

“Dalam aba-abaku...”

“Hah?!”

“Terjuuunnnn!!”

Aku dan Abdul Terjun ke sungai. Para pasukan sekutu itu mulai menembaki kami dari tepi sungai. Karena derasnya arus kami hanyut. Badanku melemas, Kesadaranku mulai menghilang. Sepertinya ajal akan menjemputku disungai ini. Namun sesuatu yang sangat silau didalam air tiba-tiba bercahaya. Ternyata, pusaka itu bersinar hingga membuat semua pandanganku menjadi putih cemerlang. Dalam sekejap mata, kami seketika dibawa ke masa depan kembali.

Kami kembali ke gudang yang pada waktu itu aku bersembunyi dan abdul menemukanku. Waktu sepertinya masih kembali menjelang senja seperti yang pada kala itu. Badanku kembali segar-bugar, dan kesadaranku normal kembali. Abdul yang tadi hanyut bersamaku juga sudah bangun dari posisi tidur telentangnya.

“Sedih ninggalin mereka berjuang sendirian. Mereka itu kalah jumlah. Sudah dipastikan mereka bakalan ditaklukan sama pasukan-pasukan itu.” Ujar Abdul

“Iya tapi karena terpaksa meninggalkan mereka. Sebelumnya aku juga nyoba nolong pak Ujang yang ketembak kala itu.” Jawab aku.

“Walau begitu kita udah selamat. Dan tak lupa kita juga harus selalu mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang.” Lanjut aku.


“Btw, gw belum tau nama lu siapa? Aku Abdul, Sebelumnya maafin udah bikin lu jadi kaya gini.” 

“Aku Haidir. Gapapa kok, kita kan jadi kenalan.”

Abdul kini telah berubah sikapnya. Sekarang ia menjadi sahabatku. Abdul berjanji ia tidak akan mengulangi kesalahannya. Dari sini pula aku belajar, bahwa  bisa saja yang semula Lawan, sekarang menjadi kawan. Aku juga belajar, perbedaan anak jaman dulu, dan anak milenial. Kalau dulu mereka bersatu padu dalam satu tujuan berjuang melawan penjajah dan meraih kemerdekaan. Kalau sekarang mungkin anak jaman sekarang hanya memikirkan diri dan kelompoknya saja.



Aku dan Abdul berpisah, dan pulang menuju rumah masing-masing. Sepertinya kejadian seperti ini langka terjadi. Pusaka kujang itu lupa tak aku bawa ke rumah. Aku tinggalkan pusaka itu di dalam gudang tersebut. Pada keesokan harinya, aku berangkat sekolah lagi. Dan ya, saat tiba di sekolah, aku dihukum oleh pak Hendra, Dengan hormat tiang bendera, karena aku lupa mengerjakan tugas kemarin. 

Tamat!

0 komentar:

Posting Komentar